Mengingat Kembali Mr Assaat, ‘Presiden’ RI yang Terlupakan

Mengingat Kembali Mr Assaat, ‘Presiden’ RI yang Terlupakan




Jakarta

Hingga saat ini, umumnya publik hanya mengenal ada 7 presiden yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Ketujuhnya yakni Ir Sukarno, Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.

Padahal, ada sosok lain yang ternyata pernah menjabat sebagai presiden Negara Republik Indonesia (RI) lo. Sosok ini menjabat selama kurang dari 8 bulan.

Ia adalah Mr Assaat yang menggantikan Sukarno ketika RI berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Mr Assaat memiliki peran yang besar dalam menjaga eksistensi RI pada masa RIS.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena ketika Sukarno ditetapkan menjadi Presiden RIS, berarti terjadi kekosongan pemimpin RI yang saat itu menjadi negara bagian dari RIS. Assaat adalah tokoh sentral dalam hal ini, tetapi kehadirannya tak sebesar tokoh lain di dalam buku-buku sejarah.

Berawal dari Sekolah Agama hingga Universitas Leiden Belanda

Mengutip Ensiklopedia Sejarah Indonesia milik Kemendikbud, Mr Assaat yang juga bergelar Datuk Mudo merupakan pejuang kemerdekaan berdarah Minangkabau. Ia lahir pada 18 September 1904, di Kampung Pincuran Landai, Agam, Sumatera Barat.

Ia sosok yang akrab dengan dunia pendidikan. Riwayat pendidikan Assaat dimulai dari sebuah sekolah agama swasta Adabiah, di Padang. Sekolah ini kelak menjadi pelopor pembaharuan pendidikan Islam modern di Padang.

Tidak diketahui daftar sekolah lain yang dilalui Assaat. Namun, pendidikannya berakhir di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.) atau kini sarjana hukum (S1).

Latar belakangnya pendidikannya di bidang hukum, menjadi modalnya untuk bisa berperan di panggung politik Tanah Air.

Bergabung di KNIP-Jadi Presiden RI

Pasca kemerdekaan, Assaat bergabung ke dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) lalu kemudian terpilih menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP (BPKNIP) pada 1946. BPKNIP merupakan sebuah badan legislatif yang berdiri pada masa awal kemerdekaan, fungsinya seperti DPR RI.

Selama menjadi ketua, ia mengeluarkan dua resolusi penting. Pertama mengenai pengakuan atas hak untuk menentukan nasib dalam bentuk pemerintahan berdasarkan demokrasi sepenuhnya. Kedua, tentang usul presiden untuk mengadakan perbaikan susunan pemerintah dan KNIP.

Ia menjabat posisi ini secara berturut-turut hingga 1949. Namun, gejolak terjadi pada bangsa Indonesia pada 1949.

Berdasarkan hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Hasil itu juga menyatakan Sukarno-Hatta jadi Presiden dan Wakil Presiden RI.

Bila merujuk konstitusi RI saat itu dijelaskan jika presiden dan wakil presiden berhalangan dalam memimpin, maka tanggung jawab dan tampuk kepemimpinan turun ke ketua KNIP. Sedangkan sosok yang kala itu berstatus sebagai ketua KNIP adalah Mr Assaat tanpa wakil presiden.

Nur Fajar Absor dalam bukunya yang berjudul Memoar Mr Assaat Datuk Mudo menyatakan RIS adalah bentuk kompromi antara RI dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg/pertemuan untuk musyawarah federal). RIS memiliki 16 negara bagian selain RI.

Beberapa negara itu adalah Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, dan Negara Indonesia Timur. Proses pelantikan Datuk Mudo sebagai Presiden RI terjadi di Yogyakarta pada 27 Desember 1949.

Kemudian Assaat menunjuk dr Abdul halim sebagai ketua formatur pembentukan kabinet RI sekaligus Menteri RI pada masa RIS. Program kerja utama kabinet Halim yang dipimpin Assaat adalah mewujudkan pemindahan kekuasaan ke tangan bangsa Indonesia.

Mereka juga berupaya agar terjadinya demokratisasi di bidang politik dan pemerintahan. Pada periode ini, pemerintahan RI dinilai berjalan lancar dan baik meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan amanat UUD 1945.

Hukum dan pemerintahan menjadi lebih terjamin, terutama dalam rangka demokratisasi kehidupan politik dan pemerintah. Kendati begitu, hal ini berjalan hanya sementara.

Eksistensi RIS bertahan hingga 17 Agustus 1950 dan dibubarkan, Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Hal ini terjadi karena tuntutan masyarakat dari berbagai lapisan baik elite hingga akar rumput.

Akhirnya keputusan disepakati melalui UU Nomor 20 Tahun 1950 tentang pembentukan NKRI pada 14 Agustus 1950. Keesokan harinya, 15 Agustus 1950 Sukarno ke Yogyakarta untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Assaat.

Dengan pengembalian jabatan tersebut, Sukarno dan Hatta dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Pencapaian Mr Assaat

Meski singkat, Assaat menyelesaikan beberapa masalah ketika menjadi Presiden RI. Seperti ketika Aceh menolak untuk digabungkan dengan Sumatera Utara dan saat DPR Sumatera Tengah menuntut pengganti gubernur daerahnya.

Pasca tidak menjabat, ia memiliki inisiatif tentang perbaikan ekonomi Indonesia yang dikenal dengan “Gerakan Assaat”. Gerakan ini dinilai sebagai suatu kebijakan ekonomi yang cukup kontroversial ketika pertama kali dicetuskan dalam Kongres Ekonomi Nasional Seluruh Indonesia (KENSI) pada Maret 1956.

Dalam gerakan Assaat, ada tuntutan agar bidang perekonomian dibagi secara tegas antara masyarakat asli RI dan warga Tionghoa. Alasan awalnya disebut agar tidak terjadi kesenjangan ekonomi.

Namun pada praktiknya justru mengakibatkan terjadinya diskriminasi pada warga Tionghoa. Akibatnya gerakan ini gagal karena tidak adanya dukungan.

Pada 1958, Datuk Mudo bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). PRRI terbentuk karena perbedaan pandangan politik antara Assaat dan Sukarno terkait pemerintahan Demokrasi Terpimpin.

Assaat merasa Demokrasi Terpimpin adalah bentuk diktator yang terselubung dan akan melunturkan nilai-nilai demokrasi. Perlawanan ini tidak berlangsung lama hanya hingga tahun 1961. Sejak saat itu Assaat selesai bergabung dengan PRRI.

Usai terlepas dari PRRI, karir politik Assaat meredup dan dikabarkan meninggal dunia pada 16 Juni 1976 pada usia 71 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta melalui prosesi upacara kebesaran militer.

(det/nah)



Source link

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *