Jakarta –
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan yang diajukan oleh lima ibu mengenai frasa ‘Barang Siapa’ dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP 1946.
MK menilai pasal tersebut tidak diperlukan pemaknaan baru karena telah memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap anak dan orang tua kandung pemegang hak asuh.
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang nomor perkara 140/PUU-XXI/2023 yang dibacakan, Kamis (26/9/2024).
Hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan rumusan Pasal 330 ayat 1 KUHP telah diperbaiki dan disesuaikan dengan perumusan penggunaan frasa ‘setiap orang’ pada KUHP baru. Jadi, kata Arief, frasa ‘barang siapa’ pada Pasal 330 ayat 1 KUHP dapat dimaknai ‘setiap orang’.
“Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku pada Januari 2026, rumusan Pasal 330 ayat 1 KUHP telah diperbaiki dan disesuaikan dengan kaidah perumusan melalui penggunaan frasa ‘setiap orang’. Pasal 452 ayat 1 UU 1/2023 menyatakan ‘Setiap orang yang menarik anak dari kekuasaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV’. Artinya, tanpa harus merujuk kepada UU 1/2023, pemaknaan frasa “barang siapa” telah dinyatakan dengan tegas dalam lampiran II angka 119 UU 12/2011 dimaknai sebagai ‘setiap orang’,” kata Arief.
“Oleh karena itu, penggunaan frasa ‘barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP yang sama dengan pasal-pasal lainnya dalam KUHP sebenarnya mengandung makna ‘setiap orang’, tanpa memaknai kualitas atau kualifikasi tertentu,” imbuhnya.
Namun, hakim konstitusi M Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Hakim Guntur menahan tangis karena menilai gugatan lima orang ibu ini seharusnya dikabulkan sebagian.
“Saya hakim konstitusi M Guntur Hamzah berpendapat seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ucap Guntur saat membacakan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam sidang MK, Kamis (26/9/2024).
Guntur pun menilai hak asuh anak seharusnya jatuh kepada ibu kandungnya. Dalam dissenting opinion ini, dia juga mengutip sejumlah kisah Nabi Muhammad SAW tentang kemuliaan ibu, yang mana kisah itu mengingatkan agar ibu lebih memuliakan ibunya dibanding ayahnya.
Meski begitu, Guntur berpandangan seorang ayah bisa mendapat hak asuh. Apabila dua syarat tidak dipenuhi sang ibu.
“Kendati demikian penguasaan atau pengawasan terhadap anak di bawah umur ini dapat dikesampingkan apabila ibu kandungnya antara lain; Pertama, ibu tidak cakap, baik karena kehilangan ingatan, sakit jiwa, maupun yang berdampak pada kesehatan rohani dan jasmani anak. Kedua, penelantaran anak. Hanya dengan kedua alasan itulah ayah kandung dapat menarik penguasaan dan pengawasan anak kandung yang tentunya harus menarik prosedur yang sesuai dengan hukum misalnya dengan putusan pengadilan. Sebelum ada putusan pengadilan, maka demi hukum anak di bawah umur harus dipandang di bawah penguasaan atau pengawasan ibu kandungnya,” ucap Guntur.
Guntur berpandangan ada ketidakadilan dalam permohonan ini. Menurutnya, Mahkamah Konstitusi bisa menyelesaikan ketidakadilan ini apabila mengabulkan sebagian permohonan penggugat.
“Oleh karena itu, dalam kacamata sense of justice saya dalam perkara a quo sesungguhnya terdapat problem ketidakadilan injustice, dalam perkara a quo sesungguhnya terdapat problem ketidakadilan injustice yang secara nyata dan terang benderang pula nampak di depan mata yang seharusnya dapat diselesaikan oleh Mahkamah,” katanya.
Gugatan dari Lima Ibu
Diketahui, perkara Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak.
Para Pemohon menguji frasa ‘Barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946). Adapun isi Pasal 330 ayat (1) KUHP itu ialah:
Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Para pemohon meminta frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP diberlakukan bagi setiap orang termasuk ayah atau ibu kandung dari anak, sebagai subjek hukum. Pemohon meminta tidak boleh ada pengecualian yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak bagi ayah atau ibu jika sampai terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.
Dalam petitum, para pemohon meminta MK menyatakan frasa ‘Barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch – Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang kemudian berlaku berdasarkan UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana juncto UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak’.
Saksikan pembahasan lengkapnya hanya di program detikPagi edisi Jumat (27/9/2024). Nikmati terus menu sarapan informasi khas detikPagi secara langsung langsung (live streaming) pada Senin-Jumat, pukul 08.00-11.00 WIB, di 20.detik.com dan TikTok detikcom. Tidak hanya menyimak, detikers juga bisa berbagi ide, cerita, hingga membagikan pertanyaan lewat kolom live chat.
“Detik Pagi, Jangan Tidur Lagi!”
(vrs/vrs)