Jakarta –
Kasus bullying di sekolah menjadi satu pekerjaan penting yang belum bisa terselesaikan pemerintahan saat ini. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Menanggapinya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta pemerintah dan stakeholder di bidang pendidikan untuk meningkatkan pengawasan di sekolah. Sebab, hal ini harus menjadi evaluasi bersama.
“Kasus perundungan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur harus menjadi evaluasi bersama. Pemerintah dan pihak-pihak terkait harus memperketat pengawasan di lingkungan pendidikan, terutama di sekolah-sekolah,” tutur Puan dikutip dari keterangan yang diterima detikEdu, Selasa (17/9/2024).
Maraknya kasus bullying menurut Puan menjadi bukti bila sistem pendidikan di Indonesia masih kurang. Diperlukan langkah pemecahan masalah secara mendalam yang melibatkan banyak pihak.
“Harus dicari akar masalahnya itu apa, dan solusi yang komprehensif. Masalah perundungan di sekolah perlu diatasi dari hulu ke hilir, dan pastinya perlu melibatkan lintas sektor. Baik itu pendidikan, sektor perlindungan anak, kesehatan untuk urusan psikologi, sampai bidang hukum,” tambahnya.
Ekstrakurikuler Harus Diperkuat
Tidak hanya pencarian masalah, cucu Bung Karno itu mendorong pemerintah menciptakan program pendidikan khusus untuk mengatasi masalah bullying di sekolah. Karena semakin sering siswa mendapat informasi soal dampak bullying, ia berharap tindakan perundungan bisa semakin ditekan.
“Sehingga anak-anak juga jadi paham jenis apa saja yang masuk dalam kategori bullying karena sering kali perundungan kecil dianggap hal biasa saja,” imbuhnya.
Sekolah bisa melibatkan pihak eksternal sebagai bentuk pembinaan, seperti lembaga antinarkoba, psikolog, dan influencer pendidikan. Di luar dunia akademik, Puan menyarankan agar pemerintah memperluas program kegiatan untuk anak-anak sekolah.
Contohnya seperti kompetisi olahraga dan seni, kegiatan pendidikan leadership (kepemimpinan), dan lainnya. Baginya langkah ini bisa membuat anak berkembang ke arah yang lebih positif.
Selaras dengan Puan, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menyebutkan pendidikan nonakademik bisa tercapai melalui kegiatan ekstrakurikuler (ekskul). Di kegiatan ini pendidikan karakter anak bisa dibangun.
“Ekskul itu bukan pembelajaran akademik, tapi pembelajaran karakter. Nah itulah yang belum banyak memahami, Pemerintah kita masih fokus pada pendidikan akademik saja,” sebut Dede.
Menjadi penting, ekskul seharusnya bisa terus digiatkan sekolah. Dengan begitu, ekskul bukan sekadar menjadi pilihan.
Diharapkan, ekskul mendorong penyaluran energi dan fokus siswa pada kegiatan positif dan menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Misalnya seperti nongkrong, minum minuman keras, atau melakukan hal-hal yang tidak terpuji.
Dede menemukan bila beberapa pihak sekolah tidak mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah untuk menghadirkan ekskul. Akibatnya, kegiatan ini hanya sekedar formalitas saja dan hasilnya kurang efektif.
“Sekarang untuk ekstrakurikuler masih ada di sekolah, tapi kan hanya sekedar pilihan. Kalau tidak wajib kan anak-anak lebih banyak tidak mengikutinya,” ucapnya.
Oleh karena itu, Dede mendorong pemerintah untuk memberikan dukungan dana untuk program ekskul. Ia mengatakan, saat ini dana BOS dari pemerintah belum bisa menunjang kegiatan ini.
Akibatnya, sekolah mengalami dilema apabila meminta iuran bagi pelaksanaan ekskul kepada siswa. Meskipun sedari dulu sebenarnya pembiayaan ekskul memang dibiayai mandiri melalui iuran untuk guru atau pelatih dari sekolah.
“Tapi kemudian setelah era orang memahami bahwa sekolah itu gratis maka ketika ada iuran dianggap pungli padahal mestinya iuran itu adalah sebuah komitmen kita untuk mendapatkan ilmu,” jelas Dede.
Jenis Ekstrakurikuler yang Bisa Tunjang Pendidikan karakter
Salah satu ekskul yang dapat menunjang pendidikan karakter anak untuk menghindari dari sikap bullying adalah bela diri. Contohnya pencak silat, taekwondo, karate, kungfu, dan lain-lain.
Menurutnya, China dan Korea Selatan mewajibkan pendidikan bela diri sebagai pelajaran wajib di pendidikan dasar. Melalui bela diri, anak-anak diberikan pelatihan motorik, pelatihan tanggung jawab, fisik, sensorik, keberanian, dan banyak lagi.
Namun di Indonesia, bela diri masih diarahkan untuk kegiatan prestasi. Padahal seharusnya bela diri menjadi ilmu dasar yang harus dimiliki setiap orang menyangkut pertahanan diri.
“Jadi belajar bela diri tidak harus untuk menjadi atlet, tapi penjagaan diri itu yang lebih penting. Pendidikan bela diri itu menjadi penting di sekolah, terutama di pendidikan dasar,” ucap Dede.
Dengan kemampuan bela diri yang dilatih, anak tidak akan asal memukul atau menedang orang lain tanpa ada alasan yang masuk akal. Ilmu bela diri juga dapat menghindari anak menjadi pelaku bullying karena kental dengan ilmu kedisiplinan dan banyak mengajarkan banyak hal soal nilai-nilai etika dan moral.
Tak hanya bela diri, berbagai ekskul lainnya juga bisa memberikan pendidikan karakter pada siswa. Hal ini tentu bermanfaat sebagai pencegahan dari tindakan perundungan.
“Kan banyak ya ekskul yang mengajarkan ilmu leadership, serta simpati dan empati. Ada pramuka, paskibra, PMR (palang merah remaja), pecinta alam buat yang suka naik gunung, teater dan musik buat yang suka seni, atau ekskul olahraga kaya basket, sepakbola, voli, dan lainnya yang mengajarkan pentingnya kerja sama dan keuletan,” kata Dede.
Untuk itu, ia mengimbau orang tua mendorong anak-anaknya mengikuti kegiatan ekskul di sekolah. Kehadiran mereka juga berperan penting dalam pendidikan karakter anak.
“Kalau orangtua tidak hadir, dalam arti tidak fokus pada pendidikan karakter, sudah pasti nilai-nilai etika moral anak menjadi kurang. Sekarang yang ada itu orangtua memberikan atensi pada pendidikan karakter kalau sudah ada kejadian,” jelasnya.
Tidak hanya di sekolah, di rumah, orang tua bisa memberikan pendidikan karakter melalui hal-hal kecil. Cara ini memungkinkan pendidikan karakter bisa mudah diterima anak.
“Pendidikan karakter di rumah bisa dimulai dari berdialog, ngobrol, sharing, belajar bersama, pengajian atau bentuk apapun lainnya. Bisa juga dengan membantu anak menyalurkan hobi, misalnya bermusik atau apa. Itu juga akan bantu anak lebih fokus sekaligus menambah skill mereka,” tutup Dede.
Kasus Bullying Terbaru
Menjadi satu dari dosa besar di dunia pendidikan, bullying masih mengancam siswa. Berabagai kasus terbaru yang terjadi beberapa waktu kebelakang, seperti:
1. Bullying pada siswa SMK Negeri 1 Gorontalo berinisial AR (14). Ia diduga dipalak dan dipaksa meminum minuman keras oleh beberapa siswa lainnya di lingkungan sekolah.
2. Bullying di SMP 3 Sungguminasa Gowa, Sulawesi, seorang siswa dianiayai oleh temannya sendiri hingga terkapar. Video perundungan dengan aksi kekerasan itu viral di media sosial.
3. Peristiwa tragis yang melibatkan anak sekolah juga terjadi di Palembang, Sumatera Selatan. Siswi perempuan berinisial AA (13) menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh 4 temannya sendiri. Para pelaku semuanya masih di bawah umur berkisar antara 12 hingga 16 tahun.
Melihat kejadian ini, Puan Maharani menegaskan bila negara tidak bisa membiarkan anak dan remaja tumbuh di lingkungan yang memberikan rasa takut. karena seharusnya sekolah menjadi tempat tumbuh kembang anak yang aman dan menyenangkan.
Bullying menjadi masalah yang harus diselesaikan dengan pendekatan holistik dan melibatkan semua pihak. Baik sekolah, pemerintah bersama DPR, orangtua, dan berbagai elemen masyarakat lain, terutama yang berfokus pada dunia pendidikan.
“Semua harus berkolaborasi dan bekerja sama untuk menciptakan lingkungan dan pendidikan yang sehat untuk anak. Kita harus berkomitmen menghadirkan sekolah yang ramah anak sehingga anak-anak kita sebagai calon pemimpin bangsa ke depan bisa bertumbuh menjadi generasi unggul,” tutup Puan.
(det/twu)