Jakarta –
Apakah detikers ingat, saat masih kecil liburan sekolah terasa lama? Sedangkan ketika dewasa, apakah kalian merasa waktu berlalu sangat cepat?
Seiring bertambahnya usia, waktu dapat terasa berlalu dengan sangat cepat. Hari berganti menjadi minggu dan kemudian menjadi bulan, lalu menjadi tahun.
Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan pada tahun 1996, sekelompok orang yang lebih muda (19-24 tahun) dan sekelompok orang yang lebih tua (60-80 tahun) diminta untuk menghitung tiga menit dalam benak mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rata-rata kelompok yang lebih muda mencatat waktu tiga menit tiga detik yang hampir sempurna, tetapi kelompok yang lebih tua tidak berhenti hingga rata-rata tiga menit dan 40 detik.
Ada sejumlah gagasan yang memberikan penjelasan mengapa, seiring bertambahnya usia, persepsi kita tentang waktu bertambah cepat.
Kenapa Semakin Tua, Waktu Terasa Makin Cepat?
Satu teori menyatakan persepsi kita tentang perjalanan waktu bergantung pada jumlah informasi persepsi baru yang kita terima dari lingkungan kita. Semakin banyak simulasi baru, semakin lama otak kita memproses informasi tersebut.
Menurut dosen senior Departemen Ilmu Matematika University of Bath, Kit Yates, teori ini terkait erat dengan percepatan waktu yang dirasakan. Seiring bertambahnya usia, kita cenderung menjadi lebih akrab dengan lingkungan kita dan dengan pengalaman hidup secara umum.
Perjalanan harian kita kini berlalu begitu saja saat kita menavigasi rute yang sudah dikenal dengan autopilot.
Berbeda halnya dengan anak-anak. Dunia mereka sering kali merupakan tempat yang mengejutkan yang dipenuhi dengan pengalaman yang tidak lazim. Anak-anak muda terus-menerus mengubah model dunia di sekitar mereka, yang membutuhkan usaha mental dan tampaknya membuat jam pasir mengalir lebih lambat daripada orang dewasa yang terikat rutinitas.
Semakin besar keakraban kita dengan rutinitas kehidupan sehari-hari, semakin cepat kita merasakan waktu berlalu dan umumnya seiring bertambahnya usia keakraban ini meningkat seperti dijelaskan Yates, dikutip dari BBC Science Focus.
Teori ini menyatakan, untuk membuat waktu kita bertahan lebih lama, kita harus mengisi hidup kita dengan pengalaman baru dan bervariasi, menghindari rutinitas sehari-hari yang menguras waktu.
Persepsi Waktu dalam Perspektif Matematika
Namun, gagasan di atas tak benar-benar berhasil menjelaskan persepsi kita tentang waktu yang tampaknya meningkat. Lamanya periode waktu tertentu tampaknya berkurang terus-menerus seiring bertambahnya usia, yang menunjukkan ‘skala eksponensial’ terhadap waktu.
Menurut Yates, kita menggunakan skala eksponensial alih-alih skala linier tradisional saat mengukur kuantitas yang bervariasi pada rentang nilai yang sangat besar.
Jika lamanya suatu periode waktu dinilai secara proporsional dengan waktu yang telah kita jalani, maka model eksponensial dari waktu yang dipersepsikan akan masuk akal.
“Sebagai seseorang yang berusia 34 tahun, satu tahun hanya mencakup kurang dari 3 persen dari hidup saya. Ulang tahun saya tampaknya datang terlalu cepat akhir-akhir ini,” ujar Yates.
Berdasarkan model eksponensial ini, menurutnya peningkatan usia proporsional yang dialami anak berusia empat tahun di antara ulang tahunnya setara dengan seorang berusia 40 tahun yang menunggu hingga ia berusia 50 tahun. Jika dilihat dari perspektif relatif ini, masuk akal bahwa waktu tampaknya hanya bertambah cepat seiring bertambahnya usia.
“Bukan hal yang aneh bagi kita untuk mengkategorikan hidup kita ke dalam beberapa dekade – usia 20-an yang riang, usia 30-an yang serius, dan seterusnya – yang menunjukkan bahwa setiap periode harus diberi bobot yang sama,” kata Yates.
“Namun, jika waktu benar-benar tampak bergerak lebih cepat secara eksponensial, bab-bab kehidupan kita yang mencakup rentang waktu yang berbeda mungkin terasa memiliki durasi yang sama,” lanjutnya.
Berdasarkan model eksponensial, usia dari 5 hingga 10, 10 hingga 20, 20 hingga 40, dan bahkan 40 hingga 80 mungkin tampak sama panjangnya (atau pendeknya).
(nah/nwy)