Malang –
Sejumlah Anggota DPRD di Jawa Timur ramai-ramai ‘gadaikan’ Surat Keputusan (SK) pengangkatan ke bank. Fenomena gadai SK massal usai pelantikan Anggota DPRD ini menunjukkan betapa mahalnya biaya politik di Indonesia.
Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Prof Anang Sujoko menilai langkah anggota legislatif menggadaikan SK adalah fenomena yang cukup memprihatinkan. Beban berat Anggota DPRD yang terpilih muncul akibat mahalnya biaya proses demokrasi.
“Fenomena yang sangat menarik. Tetapi menariknya, itu lebih bicara keprihatinan yang amat sangat terhadap fenomena demokrasi atau praktik demokrasi yang ada di Indonesia saat ini,” ujar Anang Sujoko kepada detikJatim, Sabtu (7/9/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kata Anang, persoalan yang sedang terjadi ini bisa diperdalam dengan penjelasan Anggota DPRD yang menggadaikan SK. Terutama tentang alasan mengapa mereka menggadaikan SK pengangkatan begitu turun dari panggung pelantikan.
“Yang pertama patut diperjelas nanti dari anggota dewan itu sendiri. Karena yang bersangkutan yang lebih tahu mengapa harus secara massif menggadaikan SK?” Tutur dosen FISIP UB ini.
Kendati begitu, Anang mengungkapkan berdasarkan praktik di lapangan, fenomena ini menunjukkan bahwa biaya politik pemilu legislatif membutuhkan modal yang cukup besar.
Bahkan Anang menyakini pengeluaran untuk seorang bakal calon legislatif bukan hanya ratusan juta. Dia memperkirakan saat ini modal untuk menjadi caleg itu bisa melebihi angka Rp 1 miliar.
Dia juga menyatakan untuk bisa memenangkan kontestasi dan lolos sebagai Anggota DPRD, meski tidak 100%, beberapa di antara caleg itu masih menerapkan praktik di lapangan dengan mengeluarkan uang yang tidak sedikit.
“Mayoritas biaya politik dalam rangka untuk menjadi anggota legislatif di daerah itu tidak murah,” katanya.
Menurut Anang, banyak komponen yang menjadikan biaya politik seorang calon legislatif itu sangat mahal. Pertama dan menurutnya ini ini pasti terjadi, adalah pengadaan alat-alat kampanye.
Selain itu adalah biaya yang dibutuhkan oleh tim sukses untuk masing-masing bacaleg. Belum lagi ditambah biaya untuk merawat konstituen atau program-program yang bisa meningkatkan loyalitas konstituen.
“Nah, tentu saja itu tidak murah bagi setiap bacaleg. Sehingga ada di antara mereka (bacaleg) itu kemudian juga pinjam modal kepada pihak-pihak tertentu. Baik itu pinjam personal, bisa pinjam ke perbankan,” tuturnya.
Bila hal ini terjadi maka ketika biaya yang dikeluarkan harus segera dia kembalikan begitu dilantik, caleg terpilih harus menempuh langkah untuk menunaikan kewajiban mengembalikan modal yang telah dipakai itu.
“Ketika dia (anggota dewan terpilih) harus mengembalikan, dia dalam tanda kutip uangnya tidak mencukupi lagi. Maka kejadian massif menggadaikan SK sebagai sebuah jawaban,” tegasnya.
Anang menambahkan, beban pengeluaran yang dihadapi caleg terpilih sebenarnya bukan berhenti dari situ saja. Bahkan itu bisa terjadi ketika mereka belum menerima gaji.
Misalnya, dengan adanya tradisi gelaran tasyakuran caleg terpilih atau menghadapi kelompok tertentu yang kembali datang untuk menagih janji karena sudah terpilih. Dan mereka (anggota DPRD terpilih) harus mengeluarkan uang lagi.
“Ini kemudian yang semakin memperburuk kondisi praktik politik kita. sehingga nggak ada jalan lain, salah satunya ya dengan menggadaikan SK (pengangkatan),” bebernya.
“Di sinilah saya tegaskan bahwa biaya politik di dalam pesta demokrasi Indonesia itu sangat mahal. Bukan mahal lagi, tapi sangat mahal. Ini sekali lagi fenomena keprihatinan kita terhadap praktik-praktik demokrasi yang ada di Indonesia,” pungkas Anang.
(dpe/iwd)