Jakarta –
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia menjadi sorotan seluruh masyarakat. Siapa sangka, ada peran penting 8 siswa SMK di balik kunjungan pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia itu.
Kedelapan siswa ini berasal dan SMK Pendidikan Industri Kayu Atas (PIKA), Semarang, Jawa Tengah. Mereka adalah sosok yang membuat tempat duduk Paus dalam kunjungannya di Jakarta. Kok bisa?
Ternyata kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia bukanlah kabar baru bagi siswa SMK PIKA. Sebab, panitia penyambutan dari Paroki Gereja Katedral Jakarta secara khusus memesan dua buah kursi ke sekolah yang berada di depan Stasiun Poncol, Semarang itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kursi Paus, Keberagaman, dan Toleransi
Dua kursi yang dipesan adalah satu kursi rotan dan satu kursi sofa. Menariknya, sesuai dengan seruan yang disampaikan Paus Fransiskus tentang toleransi beragama dan keberagaman, hal ini juga diterapkan di SMK PIKA.
Pembuatan dua kursi itu dikerjakan oleh delapan siswa kelas 11 dan 12 yang memiliki latar belakang agama serta suku yang berbeda. Dalam pengerjaannya, para siswa didampingi karyawan serta guru SMK PIKA.
Andrew Yulis Purnomo, siswa kelas 12 sekaligus penanggung jawab tim pembuat kursi Paus, menjelaskan bahwa keberagaman bukan hal baru di sekolahnya. Sebab, siswa SMK PIKA merupakan pelajar terbaik yang berasal dari Sabang sampai Merauke.
Siswa yang akrab disapa Endru ini menuturkan, sudah menjadi ciri khas di sekolah tersebut bahwa perbedaan latar belakang siswa bukan hal yang perlu diperdebatkan. Di sekolah, ia dan teman-teman diajarkan untuk menghormati satu sama lain.
“Bisa dibilang, di PIKA ini (siswa) dari Sabang sampai Merauke itu ada dan dari keanekaragaman budaya, ras dan juga agama. Khusus dalam pembuatan kursi Paus ini kita terus diajarkan untuk menghormati antara satu dengan yang lain,” katanya dikutip dari detikNews, Kamis (5/9/2024).
Siswa Pembuat Kursi Paus Fransiskus
Para siswa yang SMK PIKA yang membuat kursi Paus antara lain:
- Angelica Darmawan yang beragama Buddha
- Andrew Yulius Purnomo yang beragama Kristen
- Achmad Rayyan Athallah yang beragama Islam
- Angela Gregoria dan Antonio Roberto Zonggonau yang beragama Katolik
Kepala Sekolah SMK PIKA, FX Marsono juga membenarkan bila proses pembuatan kursi Paus Fransiskus menitikberatkan pada keberagaman. Bukan berarti karena Paus adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik, maka kursi dikerjakan oleh siswa yang beragama serupa.
“Kita tidak membatasi kursi ini hanya dikerjakan oleh anak yang beragama Katolik, tapi kami memberikan ruang untuk siswa agama lain supaya ada kegembiraan yang dirasakan oleh semua anak,” tuturnya.
Tidak hanya latar belakang agama, siswa pembuat kursi juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Mentawai, Papua, Kupang, dan Jawa. Karena itu, kursi ini menjadi simbol kerukunan dan kebhinekaan.
“Bahkan agamanya pun juga beraneka ragam, itu hanya untuk membuat satu kursi, dan itu bisa kita wujudkan dalam kebhinekaan,” tambahnya.
Proses Pembuatan Kursi Paus Fransiskus
Diketahui pesanan kursi Paus Fransiskus sudah ada sejak 3 Februari 2024 silam. Pesanan diterima oleh Marsono dari seorang romo di Paroki Gereja Katedral Jakarta.
Marsono sempat tidak menyangka sekolah kecil dengan jurusan khusus perkayuan yang dipimpinnya mendapat kesempatan ini. Kursi ini disebutnya “penuh dengan keberkahan” karena bakal diduduki sosok pemuka tertinggi agama Katolik.
Pengerjaan kursi tersebut dijelaskan menghabiskan waktu kurang lebih 3 bulan. Dua bulan pertama untuk proses desain kursi dan satu bulan sebagai tahapan eksekusi.
Awalnya, SMK PIKA mengajukan desain dua kursi dengan hiasan mewah. Namun kemewahan ini ternyata ditolak dan minta dihilangkan.
Sebab, Paus Fransiskus dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Juru bicaranya mengatakan Paus mendobrak tradisi berumur satu abad dan memilih “gaya hidup sederhana”.
![]() |
Desain tersebut diganti. Satu kursi dibuat dengan rangka kayu berwarna coklat tua dan diberi sandaran yang terbuat dari anyaman rotan.
Sandaran ini dibuat dengan bentuk menyerupai gunungan, struktur berbentuk kerucut atau segitiga yang terinspirasi dari bentuk gunung. Di bagian dudukan kursi terdapat bantalan berwarna putih.
Di kursi tersebut juga terpampang tulisan aksara Jawa yang memiliki arti “Persembahan dari Keluarga Besar SMK PIKA Semarang”.
Sedangkan kursi kedua dibuat dengan rangka kayu berwarna cokelat muda. Bagian sandaran dan dudukan kursi dilapisi bantal tebal berwarna putih dengan simbol Vatikan menghiasi sandarannya.
Setelah desain disetujui, proses pengerjaan kursi mulai dilakukan. DIjelaskan Endru, pembuatan kursi melalui beberapa tahapan.
“Pertama pembahanan, lalu proses konstruksi, lanjut perakitan, pengamplasan lalu finishing,” katanya.
Meski kunjungan Paus berlangsung pada bulan September, Paroki Gereja Katedral menghendaki agar kursi tersebut selesai pada Mei 2024. Akhirnya, dua tersebut berhasil diselesaikan dan dikirim ke Jakarta pada 25 Mei lalu.
Pilih Bahan Terbaik
Jalani projek yang tak sembarangan, Endru mengaku menemui sejumlah kesulitan selama membuat kursi tersebut. Selama proses pengerjaan, mereka harus sangat detail dalam memperhatikan ukuran dan desain yang sudah ditentukan secara spesifik.
Untuk bahan utama, para siswa menghendaki penggunaan kayu dengan kualitas terbaik. Kayu jati daerah tandus pun dipilih.
“Kayu jati yang tumbuh di daerah tandus memiliki serat kayu yang lebih halus dan memiliki kandungan minyak, sehingga terhindar dari rayap,” kata Endru.
Karyawan produksi industri mebel milik SMK PIKA Semarang, Kuncoro, menilai projek kursi Paus ini menjadi pengalaman yang langka dan menarik bagi siswa.
“Ini semacam pekerjaan yang bener-bener spesial bagi kami karena kita kombinasikan kayu dan rotan, sehingga menjadi pengalaman menarik bagi anak-anak juga,” ungkapnya.
Tidak hanya bangku asli, Gereja Katedral juga meminta replika atau tiruan dari kursi rotan Puas. Kursi ini nantinya akan dipajang di Museum Katedral.
Terkait pembiayaan, Marsono mengatakan biaya ditanggung oleh Yayasan PIKA. Alih-alih berfokus pada biaya, ia menilai penting untuk memastikan mereka bisa memberikan persembahan terbaik untuk Paus Fransiskus.
“Sebagai sekolah Katolik, sebagai umat Katolik, semoga kedatangan Bapak Paus bisa meningkatkan iman umat Katolik yang ada di Indonesia. Supaya bisa hidup dengan cinta kasih, dengan rukun terhadap sesama,” tutupnya.
(det/twu)