Surabaya –
Pakar Geologi ITS mengingatkan bahwa posisi Indonesia berada di ring of fire atau cincin api pasifik. Artinya jalur di sepanjang Samudera Pasifik yang memiliki banyak gunung berapi aktif dan sering terjadi gempa bumi dengan cakupan wilayah sepanjang 40.000 kilometer.
Oleh karena itu masyarakat diminta untuk memahami bahwa kejadian gempa bumi maupun potensi terjadinya gempa bumi megathrust di Indonesia menjadi hal yang tidak bisa dihindari.
“Kita ditekan oleh tiga lempeng ini dari Samudra Hindia, Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasia, ini menekan dan menyusup di bawah Indonesia. Kita bisa melihat ini takdir,” ujar Pakar Geologi ITS Dr Ir Amien Widodo MSi dalam tayangan Bincang Bencana, Minggu (25/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena berada dalam jalur ring of fire, maka Amien menyebut manusia harus selalu beradaptasi dengan melakukan mitigasi bencana, bukan hanya khawatir secara berlebihan maupun menyalahkan alam. Tujuannya untuk meminimalisir korban jiwa serta berbagai kerugian ketika terjadi bencana.
“Gempa bumi itu tidak membunuh tapi ketidaktahuan, ketidakingintahuan, dan ketidakmautahuan bisa menyebabkan kita terbunuh,” katanya saat menjadi narasumber Bincang Bencana.
Beberapa hal yang bisa dilakukan masyarakat antara lain membuat pemetaan kawasan rawan gempa. Ini juga akan berguna sebagai dasar perencanaan tata ruang. Termasuk pembuatan konstruksi bangunan tahan gempa.
Kemudian perlu dilakukan pula edukasi, sosialisasi, hingga gladi kebencanaan secara terstruktur dan masif kepada masyarakat. Melalui upaya ini harapannya literasi kebencanaan masyarakat semakin meningkat.
“Setiap individu, keluarga, dan masyarakat harus tahu ancaman apa saja yang ada di sekitarnya dan harus tahu apa yang akan dilakukan (saat terjadi bencana),” tutur Amien.
Ia juga mengingatkan sejatinya peristiwa alam termasuk gempa, gunung meletus, tsunami, longsor, dan berbagai bencana lainnya sudah ada sejak bumi terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu.
“Peristiwa alam tidak pernah berubah, sementara manusia yang bertambah banyak. (Saat ada korban dan kerugian akibat bencana) yang disalahkan kerap kejadian alam. (Manusia) terlalu sering menyalahkan alam, sehingga tidak pernah belajar dari kesalahan (dirinya sendiri),” pungkasnya.
(dpe/iwd)