Putusan MK Ubah Syarat Parpol Usung Cagub, 1 Hakim Dissenting Opinion

Putusan MK Ubah Syarat Parpol Usung Cagub, 1 Hakim Dissenting Opinion



Jakarta

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. Ada satu hakim konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) dan satu hakim yang mempunyai alasan berbeda namun sependapat dalam hal putusan (concurring opinion). Siapa mereka?

MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Putusan terhadap perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu dibacakan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024).

“Yang pada pokoknya yang concurring berpendapat bahwa seharusnya Mahkamah memutus perkara a quo dengan konstitusional bersyarat. Sementara yang dissenting berpendapat bahwa terhadap norma yang dilakukan pengujian telah konstitusional dan seharusnya Mahkamah menolak permohonan para pemohon,” kata hakim ketua Suhartoyo.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Concurring opinion berasal dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh. Sementara dissenting opinion dari Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.

Dissenting Opinion

Hakim Guntur berpendapat permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora seharusnya ditolak. Dia menekankan pentingnya mencermati kembali kata ‘demokratis’ dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945.

“Sementara itu, terkait dengan dasar konstitusional pemilihan umum kepala daerah sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, saya menekankan pentingnya untuk mencermati kembali kata ‘demokratis’ dalam Pasal a quo. Melalui pemahaman terhadap kata ‘demokratis’ maka sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk menggunakan satu model tertentu dalam pemilihan kepala daerah, karena yang terpenting kepala daerah yang terpilih adalah representasi suara rakyat di daerah. Apapun modelnya, baik melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat, dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, maupun melalui cara lain yang diatur dalam undang-undang merupakan model yang demokratis,” kata Guntur seperti dilihat dari salinan putusan MK.

Dia berpendapat kalimat ‘ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah’ dalam Pasal 40 ayat (3) UU a quo merupakan aturan yang dibuat oleh pembentuk UU untuk memberikan rambu-rambu pencalonan kepala daerah. Hal itu bertujuan agar kompetisi antara calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik berlangsung kompetitif dan untuk mendapatkan calon pemimpin daerah yang terbaik dalam koridor demokrasi.

“Oleh karena itu, norma a quo tidak dapat begitu saja dinilai bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) karena selain tidak diatur secara eksplisit dan implisit di dalam konstitusi, juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi, keadilan, dan prinsip demokrasi. Bahkan, dengan adanya norma a quo akan menambah daya lentur (flexibility) pemaknaan dari kata ‘demokratis’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, saya berkeyakinan bahwa aturan pada kalimat ‘ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah’ adalah salah satu rangkaian dari upaya pembentuk undang-undang dalam memaknai kata ‘demokratis’ sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 UUD ayat (4) 1945,” tuturnya.

Guntur mengaku sulit meyakini adanya keharusan yang sama dalam hal syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dengan persyaratan pencalonan kepala daerah. Menurutnya, permohonan ini lebih kepada upaya para Pemohon untuk mendapatkan kesempatan mengusung calon kepala daerah meskipun tidak memenuhi persyaratan Pasal Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016.

“Langkah hukum para Pemohon tersebut meskipun bagian dari hak konstitusional warga negara, namun justru menunjukkan adanya hasrat atau kehendak untuk mengubah/menghapus ketentuan atau aturan main (rule of the game) in casu Pasal 40 ayat (3) UU a quo dalam pemilihan kepala daerah, sehingga partai politik yang menjadi adressat norma a quo dapat mengajukan calon kepala daerah pada Pilkada Tahun 2024 ini,” ujar Guntur.

“Ihwal ini, terkonfirmasi dengan adanya petitum provisi dalam permohonan Pemohon yang memohon untuk perkara a quo agar diprioritaskan pemeriksaannya di Mahkamah. Dalam perspektif prinsip sportivitas elektoral, cara demikian sesungguhnya kurang elok dan seyogianya tidak dapat dibenarkan (cannot be justified),” tambahnya

Dia mengatakan norma a quo terkait dengan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah tidak relevan untuk dijadikan persoalan dalam kaitan soal pengusungan calon kepala daerah. Dia menyebut Pasal 40 ayat 3 tak perlu diubah atau dihapus lantaran tak bertentangan dengan Konstitusi.

“Berkenaan dengan hal tersebut, seyogianya penggunaan ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU a quo tidak perlu diubah/dihapus atau ditiadakan oleh Mahkamah karena norma a quo tidak bertentangan dengan konstitusi, keadilan, dan prinsip demokrasi, namun dalam tataran implementasi dapat dilakukan melalui mekanisme calon perseorangan sesuai peraturan perundang-undangan,” katanya.

Dia juga menyinggung motif dan timing pengajuan permohonan tersebut. Dia menyebut pengajuan permohonan hendaknya dilakukan jauh sebelum kontestasi Pilkada akan dimulai atau berlangsung.

“Saya tetap pada pendirian bahwa terkait dengan aturan main (rules of the game) dalam kontestasi pemilihan umum baik
untuk pemilu presiden dan wakil presiden maupun pemilu gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota adalah sesuatu yang harus pasti, adil dan ajeg/stabil, sehingga andaipun terjadi -not for sure yet- perubahan atau meniadakan norma a quo sebagai aturan main dalam rangka pemenuhan rasa keadilan, quod non, hendaknya dilakukan jauh sebelum kontestasi dimulai bukan pada saat/sedang berlangsung atau bahkan seperti yang terjadi dalam permohonan a quo, karena diajukan setelah pencoblosan pemilu legislatif selesai diselenggarakan,” ujarnya.

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat melantik Guntur Hamzah menjadi Sekjen MK yang baru menggantikan Janedri M Gaffar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (31/8/2015). Agung Pambudhy/Detikcom. Guntur Hamzah (Agung Pambudhy/detikcom)

Guntur mengatakan perlu adanya sebuah terobosan hukum dalam hal pengajuan permohonan pengujian
UU terkait isu kepemiluan di Mahkamah Konstitusi. Hal itu bertujuan untuk memastikan keajegan regulasi berkenaan dengan sistem kepemiluan, untuk diketahui bersama dan menjadi rujukan semua pihak dan pemilih dalam proses penyelenggaraan pemilu, serta untuk tidak mudah menarik lembaga
peradilan in casu Mahkamah untuk lebih jauh menjalankan judicial activism atau
sebaliknya judicial restraint.

“Berdasarkan seluruh argumentasi dan pertimbangan hukum tersebut di atas, sekali lagi, tidak ada keraguan bagi saya untuk menolak permohonan para Pemohon dalam perkara a quo,” ujarnya.

Concurring opinion

Hakim Daniel mengatakan keseluruhan norma Pasal 40 UU 10/2016 menutup peluang parpol yang tak mendapatkan kursi di DPRD untuk mengusung calon kepala daerah. Menurutnya, hal ini menunjukkan norma UU a quo menafikan dukungan rakyat terhadap partai politik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Dia menyebut jika mengikuti keinginan para Pemohon, maka secara tidak langsung para Pemohon mendorong MK menjadi positif legislator. Dia mengatakan Pasal 40 ayat 3 memiliki dua makna alternatif yakni syarat perolehan minimal 20% dari jumlah kursi DPRD atau syarat minimal perolehan 25% akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu bagi partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.

“Bahwa sekalipun hanya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, namun norma Pasal 40 ayat (3) a quo berkaitan erat dengan Pasal 40 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 10/2016, sehingga norma Pasal 40 harus dipahami sebagai satu kesatuan makna secara utuh. Apabila mengikuti keinginan para Pemohon, secara tidak langsung para Pemohon mendorong Mahkamah menjadi positif legislator karena Mahkamah tidak bisa tidak, harus merumuskan kembali norma Pasal 40 secara keseluruhan, atau setidaknya merumuskan ulang norma Pasal 40 ayat (1) sampai dengan ayat (3) terkait dengan pencalonan kepala daerah, partai politik atau gabungan partai politik menggunakan parameter akumulasi perolehan suara 25% bagi partai politik peserta pemilu yag mendapat dukungan rakyat tetapi tidak mendapat kursi di DPRD,” ujarnya.

Giliran Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Jalani Sidang Tertutup MKMKGiliran Hakim Konstitusi Daniel Yusmic (Andhika Prasetia/detikcom)

Dia mengatakan 2 makna alternatif itu ternyata menimbulkan diskriminasi. Padahal, menurutnya dua alternatif itu seharusnya dimaknai setara.

“Terhadap 2 alternatif tersebut, telah ternyata menimbulkan diskriminasi karena terdapat suara pemilih yang berpotensi tidak memiliki ‘nilai’ atau hilang untuk mengusulkan pasangan calon kepala daerah akibat partai politik yang bersangkutan tidak mendapatkan

kursi di DPRD, sehingga norma demikian jelas telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Padahal penormaan 2 (dua) alternatif seharusnya dimaknai sebagai norma yang setara dan sederajat di antara pilihan satu dengan lainnya,” tuturnya.

(mib/dnu)



Source link

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *