Palembang –
Sejumlah daerah di Sumatera Selatan (Sumsel) diprediksi akan terjadi kapitalisasi Pilkada. Di antaranya Pilkada Musi Banyuasin, Palembang, Musi Rawas dan beberapa daerah lain.
Para calon kepala daerah (Cakada) dengan finansial mumpuni diduga memberi mahar untuk dapat dukungan Parpol. Imbasnya, banyak kader Parpol dan pihak lain yang berpotensi memajukan daerah tersingkir karena tak dapat dukungan sesuai mekanisme syarat 20% kursi hasil Pileg 2024.
Pengamat Politik Sumsel Bagindo Togar mengatakan, Pilkada yang digelar seharusnya menjadi ajang pertarungan antar Cakada dengan visi misi yang dimiliki. Namun, belumlah pendaftaran dibuka oleh KPU sejumlah Cakada sudah memborong kursi Parpol dan menjegal pihak lain.
“Jika kapitalisasi Pilkada dukungan Parpol berdasarkan kinerja, memiliki jaringan dan kekuatan lengkap untuk memajukan daerah, berprestasi dan lainnya, itu oke. Namun, jika dukungan Parpol diberikan atas dasar finansial, tidak punya kinerja, tak ada prestasi, terlebih pernah tersangkut masalah hukum maka ‘larinya’ akan ke APBD,” ujarnya.
Dia menyebut, salah satu indikasi kapitalisasi itu terjadi di Pilkada Muba. Salah satu Paslon memborong kursi untuk bisa maju Pilkada dan pesaingnya dengan hasil survei lebih baik terjegal karena tak dapat dukungan Parpol.
Menurut Bagindo, sebagai daerah dengan APBD terbesar di Sumsel mencapai Rp 4,2 triliun, potensi pemanfaatan anggaran untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok bisa saja terjadi. Terlebih ada dugaan biaya mahar untuk dapat dukungan kursi, sehingga ingin dapat keuntungan pasca menjabat.
“Tidak punya kinerja dan prestasi, hanya mengandalkan finansial. Ini terjadi karena ada kapitalisasi Pilkada. Kemudian ketika menjabat APBD dipakai untuk mengembalikan modal. SDA dan APBD Muba sangat besar, Rp 4,2 triliun. Karena mengandalkan finansial di Pilkada, feedback kompensasinya adalah APBD. Kasus hukum kemarin bisa saja terjadi lagi,” terangnya.
Menurutnya, kinerja Cakada sangat penting dalam menentukan Paslon yang ingin diusung. Selain di Muba, dia juga menyebut Pilkada Palembang jadi sorotan karena diduga ada kapitalisasi dukungan Parpol terhadap Paslon.
“Saya tak perlu sebut nama, pasti masyarakat sudah tahu. Berbeda dengan Pilkada yang lalu, tokoh yang menang mengandalkan kinerja agar bisa terpilih kembali dan didukung Parpol. Saat ini tidak, rata-rata kapitalisasi Pilkada dilakukan orang yang tak punya kemampuan, sehingga andalkan finansial melalui dukungan Parpol” katanya.
Selain Muba dan Palembang, kapitalisasi Pilkada juga berpotensi terjadi di Mura. Wakil Bupati Mura, Suwarti yang berkeinginan maju terjegal karena partainya memberi dukungan kepada pesaingnya yang juga Bupati Mura aktif, Ratna Machmud. Padahal, Suwarti adalah Ketua DPC Gerindra.
Sementara Qodri Usman Siregar, Ketua Himpunan Pengusaha Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HIPKA) Sumsel mengungkapkan, terpilihnya Cakada hasil kapitalisasi dengan kemampuan finansial akan berdampak buruk pada ekonomi daerah.
“Visi misi Cakada maju dalam kontestasi seharusnya untuk membangun daerah, bukan dalam tanda kutip untuk hal yang lain seperti mencari profit, memperkaya diri sendiri atau kelompok. Jika mereka terpilih, dunia usaha akan terganggu. Contoh simpelnya soal perizinan, bisa saja ada tambahan-tambahan biaya di bawah meja yang diberlakukan,” ujarnya.
Dia berharap, Pilkada 2024 bisa menghasilkan pemimpin terbaik. Jangan sampai, hasil Pilkada yang kepala daerahnya tersangkut masalah hukum kembali terjadi seperti di Muba dan Muara Enim.
Menurutnya, kepala daerah di dua wilayah itu pernah beberapa kali terjadi pergantian. Besarnya potensi SDA dan APBD di wilayah itu membuat Cakada harus menang dengan berbagai upaya yang dilakukan.
“Di Muara Enim sampai berganti 6 kali kepala daerah karena ada OTT KPK, di Muba 3 kali ganti. Sebagai pengusaha, tentu kita tak ingin ini terjadi. Ada keluh kesah anggota HIPKA terkait ini, daerah yang tak kondusif membuat ekonomi juga tak kondusif. Kita harap Pilkada ke depan menghasilkan pemimpin terbaik dan kemenangan bagi semua,” tukasnya.
(dai/dai)